Cognitive Behavior Therapy (CBT) Untuk Mahasiswa SA

Meningkatnya identifikasi dan pengakuan terhadap individu SA mengarah pada meningkatnya jumlah individu SA, terutama mereka yang tidak memiliki masalah intelektual dan masuk ke perguruan tinggi. Hal tersebut menuntut perguruan tinggi untuk menyediakan layanan kesehatan mental. Kenapa begitu? Sebab, stres pada mahasiswa dengan SA dapat muncul akibat perubahan rutinitas dan keteraturan, peningkatan tuntutan akademik, organisasi waktu secara mandiri, dan hubungan sosial yang baru.z

Beberapa penyebab stres tersebut dapat berujung pada ​dropout dan menurunnya kepuasan terhadap pengalaman kuliah. Karena itu, perlu ada pengembangan layanan klinis yang efektif dengan menggunakan pendekatan yang sesuai untuk individu SA dewasa muda selama masa kuliah.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif untuk mengatasi masalah sekunder, misalnya kecemasan dan kemarahan, pada anak dan remaja SA yang tidak memiliki disabilitas intelektual. Satu bentuk program CBT yang berfokus pada pelatihan pemecahan masalah di lingkungan universitas adalah Problem Solving Therapy (PST). Terapi ini juga efisien dalam segi waktu dan biaya, karena dilakukan dalam kelompok.

PST, baik dalam bentuk individual maupun kelompok, terbukti dapat meningkatkan kemampuan individu SA dalam memecahkan masalah. Tujuan utama studi ini adalah mengembangkan manual PST yang disesuaikan untuk populasi mahasiswa SA. Sebagai studi eksploratif, studi ini ingin memperoleh data awal efikasi dari terapi jangka pendek.

Yang menjadi partisipan adalah 5 mahasiswa SA pada level sarjana, berusia antara 18 – 23 tahun, serta sudah berkuliah selama 1 bulan hingga 5 tahun. Empat mahasiswa didiagnosis asperger dan satu mahasiswa didiagnosis autisme. Seluruh partisipan memiliki skor IQ lebih dari 100, didukung tes kognitif selama 3 tahun terakhir.

Ada 3 hal yang diukur selama penelitian, yaitu:

  1. Integritas terapi: penyampaian elemen kunci dari intervensi yang dinilai bersama oleh para terapis pada akhir setiap sesi
  2. Ketaatan terapi: kehadiran dan keterlibatan partisipan selama terapi
  3. Kepuasan konsumen: evaluasi tentang sejauh mana sesi terapi bisa membantu partisipan

Sementara itu, alat ukur yang digunakan adalah:

  1. Social Problem Solving Inventory-Revised: Long Form (SPSI-R:L). Alat ukur ini terdiri 52 item dan terbagi menjadi 5 sub-skala, yaitu orientasi pemecahan masalah yang konstruktif, orientasi masalah yang negatif, pemecahan masalah rasional, impulsivitas, dan penghindaran.
  2. Outcome Questionnaire (OQ). Kuesioner ini berbentuk​ self-report, terdiri dari 45 item dengan 3 sub-skala, yaitu distress somatik, hubungan interpersonal, dan performa peran sosial. Skor yang lebih tinggi menunjukkan distress yang lebih besar serta masalah dalam hubungan dan peran sosial.

Bagi klien SA, terapi berbasis CBT membutuhkan modifikasi agar dapat berhasil. Adaptasi yang dilakukan untuk PST, antara lain psikoedukasi mengenai SA dan hubungannya dengan proses pemecahan masalah, pemberian umpan balik langsung dan spesifik, pemodelan keterampilan baru yang lebih intensif oleh para pemimpin kelompok, dan penggunaan instruksi langsung untuk melatih keterampilan. Shaping dan multi-modal practices digunakan agar individu SA dapat melakukan generalisasi keterampilan di luar sesi terapi.

​Setiap sesi dirancang secara terstruktur, misalnya menggunakan ​timer,​ papan tulis, dan pengingat pertemuan. Tujuannya adalah mengurangi kecemasan akibat ketidakpastian dalam sesi dengan membantu partisipan untuk mengetahui apa yang diharapkan dalam sesi. Di samping itu, digunakan pula berbagai teknik pengajaran yang kreatif, menggabungkan penjelasan verbal dan bantuan visual, serta latihan melalui role play.

Secara umum integritas partisipan dalam program tergolong tinggi. Mereka cukup puas akan manfaat terapi, terutama pelatihan tentang langkah-langkah pemecahan masalah. Mereka juga menyatakan suka pada program yang diikuti dan akan merekomendasikan program tersebut kepada mahasiswa lain.

Dari sisi peningkatan keterampilan pemecahan masalah, hanya 2 partisipan yang menunjukkan perbaikan. Sementara itu, pada 3 partisipan lain tidak terjadi peningkatan maupun penurunan. Perubahan yang tidak signifikan pada sebagian partisipan diduga disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya, kesulitan partisipan dalam mengevaluasi emosinya sehingga berdampak pada pengisian skala, masalah lain seperti kecemasan dan depresi, serta waktu pelaksanaan program yang terlalu singkat.

Sumber:

Journal of Autism and Development Disorder (2014) 44:719-729

Brief Report: Problem Solving Therapy in College Students with Autism Spectrum Disorders: Feasibility and Preliminary Efficacy

Cara E. Pugliese • Susan W. White

mandiga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts